Pages

Jumat, 19 Februari 2010

Kedaluwarsa, Izin Prinsip PT Nauli Sawit


Hasil Investigasi Walhi Sumut
SIBOLGA–METRO; Setelah ketahuan tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan tidak jelas kepemilikannya, ternyata izin prinsip PT Nauli Sawit yang diterbitkan Pemkab Tapanuli Tengah (Tapteng) sudah habis masa berlakunya alias kedaluwarsa, terhitung sejak tahun 2005 lalu.

Hal ini merupakan hasil investigasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara (Sumut) di lokasi perkebunan kelapa sawit milik PT Nauli Sawit di empat kecamatan di Tapteng, yakni Manduamas, Sirandorung, Andam Dewi, dan Sorkam Barat.

Direktur Eksekutif Walhi Sumut Sahrul Sagala didampingi Manajer Walhi Sahat Tarida Rumahorbo, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Alung, aktivis Forum Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR) Edianto Simatupang, dan Pastor Rantinus Manalu Pr dari Keuskupan Sibolga, kepada METRO, Kamis (18/2) di kantor Keuskupan Sibolga menerangkan, kehadiran para pentolan aktivis Sumut ini guna meninjau (investigasi) ke lokasi lahan masyarakat yang dirampas PT Nauli Sawit sejak tahun 2004.

Menurut Sahrul, dalam investigasi selama seminggu ini di lokasi PT Nauli Sawit, mereka telah menemukan beberapa keganjilan. Temuan mereka tersebut nantinya akan dibuat sebagai laporan untuk diadukan ke Poldasu.

"Berdasarkan laporan dan temuan kami di lapangan, PT Nauli Sawit tidak hanya merampas lahan masyarakat, namun juga telah melakukan pelanggaran terkait mitigasi perubahan iklim dan pengurangan emisi dari perombakan, serta adanya pengeringan ekosistem lahan gambut. Artinya, kawasan ekosistim gambut sudah dirusak karena dijadikan sebagai perkebunan sawit," beber Sahrul diamini rekan-rekannya.

Yang paling aneh, lanjut Sahrul, hingga saat ini tidak ada tindakan tegas dari aparat kepolisian terhadap pemilik PT Nauli Sawit. Pasalnya dari data yang diperoleh mereka, PT Nauli Sawit termasuk perusahaan ilegal karena tidak mengantongi (memiliki, Red) izin HGU.

"PT Nauli Sawit beroperasi hanya bermodalkan izin prinsip yang dikeluarkan pemerintah setempat. Ironisnya, izin prinsip tersebut juga telah kedaluwarsa, karena hanya berlaku hingga tahun 2005. Makanya kita heran perusahaan ini sangat memiliki power di Tapteng. Karena walau tak ada izin, bisa tetap beroperasi," sebutnya.

Menurut Sahrul, meski perusahaan tersebut tak memiliki HGU, namun tim investigasi menemukan fakta di lapangan berupa patok-patok tapal batas lahan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini menjadi pertanyaan, mengingat hingga saat ini tidak ada satu pun pihak yang bisa menjelaskan siapa pemilik PT Nauli Sawit.

"Tentunya dengan adanya patok-patok tapal batas lahan oleh BPN tersebut, pasti ada pemiliknya. Namun dari amatan tim investigasi di lapangan, perusahaan ini memiliki power yang luar biasa hingga bisa menggunakan nama lembaga negara BPN untuk memasang patok batas lahan. Bahkan aparat kepolisian dibuat seperti satpam untuk melakukan patroli dan pengawasan di lahan PT Nauli Sawit," ungkapnya.

Bukan hanya itu. Sahrul bersama tim aktivis lainnya mengaku sudah melakukan berbagai investigasi ke berbagai instansi pemerintah dan swasta di Sumut, bahkan hingga ke Jakarta. Namun keberadaan PT Nauli Sawit sampai saat ini tidak terlacak kepemilikannya.

"Yang pasti, dari hasil kerja tim investigasi kami di lapangan, PT Nauli Sawit telah menggunakan cara-cara tidak terhormat untuk memaksa masyarakat transmigrasi melepaskan lahannya. Bahkan mereka menutup aliran sungai alam hingga menyebabkan lahan masyarakat tergenang, yang mengakibatkan lahan masyarakat tidak produktif. Semua temuan ini nantinya akan kita laporkan ke aparat hukum," bebernya.

Dalam melakukan investigasi ke lokasi PT Nauli Sawit, tim mengaku telah melakukan wawancara kepada sejumlah masyarakat yang berhak atas tanah yang dirampas PT tersebut, di antaranya Nardi (43) warga Desa Bajamas SP II, RT 5, Kecamatan Sirandorung, transmigran asal Gunung Kidul, Jawa Tengah.

Nardi mengaku telah menerima lahan seluas 1 hektare dari Departemen Transmigrasi, disusul penyerahan sertifikat hak pakai tahun 1989. Namun sesudah PT Nauli Sawit masuk ke lokasi tersebut sekitar tahun 2006, perusahaan tersebut langsung menyerobot lahan Nardi. Selain itu, katanya, PT Nauli Sawit juga telah merusak tanaman karet miliknya sekitar 300 batang, kelapa 15 batang, dan pisang 10 rumpun di lahannya. Padahal Nardi mengaku masih memegang utuh sertifikat hal milik atas lahan tersebut.

Kabag Humas Pemkab Tapteng Drs Rudolf Sihotang yang dikonfirmasi melalui telepon selulernya tadi malam mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Kehutanan (Dishut) Tapteng, izin prinsip tersebut sudah diurus.

"Setahu saya, izin mereka (PT Nauli Sawit, Red) sudah diurus ke Dinas Kehutanan Tapteng. Namun saya tidak ingat lagi kira-kira kapan tanggal dan bulan pengurusan izin tersebut," tukasnya.

Namun jika benar izin prinsip PT Nauli Sawit sudah kedaluwarsa, ia mengimbau agar perusahaan tersebut segera memperpanjang izin, sembari menunggu izin-izin lainnya diurus.

Saat ditanya apakah ada sanksi tegas dari Pemkab Tapteng terkait izin prinsip PT Nauli Sawit sudah kedaluwarsa, Rudolf mengatakan pihaknya hanya mengharapkan izin tersebut segera diurus kembali. (metrosiantar.com)

0 komentar:

Posting Komentar